#33 Dinamika Gula Dunia : Sepenggal Cerita Dari Bali

Assalamualaikum wr.wb,

Setiap tahun selalu saja ada event tentang gula di seantero benua di dunia. Yang paling banyak menyelenggarakan acara seminar atau workshop semacam ini adalah ISO (International Sugar Organization), suatu organisasi gula tingkat dunia yang bermarkas di London, Inggris. Tapi yang kali ini saya ikuti adalah acara yang diselenggarakan oleh IBC be-kerjasama dengan AGI (Asosisasi Gula Indonesia) yang diberi tajuk Asia International Sugar Conference dan diselenggarakan di kawasan ITDC Nusa Dua Bali.

Yang menarik dalam event ini menurut saya adalah mendengarkan cerita tentang industri gula di negara-negara tetangga terutama negara yang menjadi pemain utama dunia seperti Brazil, Thailand, India, Australia dan China. Seperti apakah tantangan yang dihadapi oleh komunitas pergulaan di negara mereka masing-masing? Dan apakah faktor yang mendukung bagi negara yang sukses memproduksi dan mengekspor gula ke seluruh penjuru dunia?

Karena kali ini diadakan di Indonesia tentu saja cukup besar porsi waktu yang disediakan untuk membahas situasi pergulaan di Indonesia. Tapi mengingat forum ini bersifat internasional dengan peserta juga dari kalangan trader gula, paparan yang disampaikan tentu tidak akan “telanjang” membuka semua permasalahan dan strategi pergulaan nasional kita. Yang diundang untuk berbicara dalam suatu panel diskusi dari Indonesia adalah saya, pak Djoni Sunarso dari Sugar Group, Pak Dr. Nur Iswanto dari PTPN X dan Pak Dr. Lilik dari P3GI.

Kembali lagi, yang penting dalam forum ini adalah bagaimana kita bisa mendengar dan belajar dari tetangga untuk kemudian kita pilih mana yang bisa kita adopsi di negara kita. Dari Pemerintah diwakili oleh pejabat dari Kementerian Perekonomian yang tentunya sangat  berkepentingan untuk menentukan kebijakan pergulaan yang multi dimensional.

Supaya saya tidak bercerita tentang angka-angka, lebih baik rasanya kalau saya kutip tampilan grafik-grafik yang penting dari para pembicara. Kita mulai dari data gula tingkat dunia.

Grafik 1.png

Grafik pertama bisa menunjukkan dimanakah posisi Indonesia sebagai produsen gula dibandingkan negara di dunia lainnya. Ternyata produsen terbesar adalah Brazil dengan jumlah di atas 35 juta ton, diikuti dengan India dengan angka disekitar 25 juta ton, sementara Indonesia hanya 2,5 juta ton; kalah dengan Thailand yang mencapai kisaran 10 juta ton. Grafik balok itu menunjukkan perkembangan dari tahun ke tahun sampai ke 2018 (forecast). Terlihat bahwa India naik signifikan dalam 2 tahun yang akan datang (2017 dan 2018) karena dalam 2 tahun terakhir ini India terkena dampak El Nino secara beruntun.

Bagaimana dengan gambaran produksi vs konsumsi dari tetangga terdekat kita Thailand dan Australia?

Grafik di bawah ini bisa bercerita banyak.

grafik 2.png

grafik 3.png

Ternyata tetangga ASEAN kita – Thailand – memproduksi gula hampir dua kali lipat dari pada tetangga kita yang selama ini di dunia pergulaan kita anggap sudah advance dalam teknologi yaitu Australia. Produksi Thailand sekitar 10 juta ton dengan konsumsi sekitar 3 juta ton sehingga surplus yang siap di lempar ke pasar ada 7 juta ton yang ternyata 25% diimpor oleh Indonesia. Sementara Australia hanya berproduksi sekitar 5 juta ton dengan konsumsi sekitar 1 juta ton. Lebih sedikit dari Thailand. Yang lebih hebat lagi di tahun ini Thailand sudah mengeluarkan ijin untuk berdirinya 25 pabrik baru lagi untuk mencapai target produksi gula dua kali lipat dari sekarang dalam 10 tahun mendatang.

Apa saja yang dilakukan Thailand? Dr. Kitti Choonhawong dari Thailand Society of Sugar Cane Technologist (TSSCT) punya cerita yang menurut saya sangat bisa ditiru oleh kita, masayarakat gula Indonesia sebagai bangsa serumpun.

Pertama, Thailand sekarang memfokuskan dirinya pada PG dengan kapasitas besar yaitu rata-rata lebih dari 20.000 tcd. PG terbesar saat ini berkapasitas 50.000 tcd, atau empat kali lipat dari PG Krebet Baru (KB I dan KB II digabung). Kegiatan penelitian dilakukan oleh Perguruan Tinggi. Jadi tidak ada lembaga riset khusus gula yang dimiliki oleh Thailand. Semua tebu juga berasal dari petani, tidak ada yang dimiliki oleh PG.

Upaya di bidang kultur teknis yang dilakukan juga sama dengan langkah kita di PG-PG Indonesia khususnya di Jawa. Dari langkah yang tergambar di potret di samping ini dapat terlihat bahwa mereka juga mengalami kelambatan masa tanam seperti kita. Demikian juga dengan kebutuhan air untuk irigasi, kebutuhan akan bahan organik dan kerapatan tanaman.

grafik 4.png

Pemerintah menyediakan kredit bunga rendah (soft loans) untuk kegiatan perbaikan budidaya tanaman, penggunaan mesin-mesin pertanian termasuk harvester dan juga kegiatan pengembangan industri hilir dari tebu.

Kredit tersebut disediakan oleh Bank of Agriculture & Cooperatives. Mungkin kalau di Indonesia seperti Bank Agro dan Bank Bukopin tetapi disubsidi oleh Pemerintah, atau semacam kredit KKPE. Jadi memang benar bahwa di negara tetangga, Pemerintah memproteksi dan membantu industri gulanya dalam berbagai bentuk sehingga bisa bersaing di pasar internasional.

grafik 5.png

Bagi Thailand, perkembangan industri gula mereka sekarang sudah memasuki tahap ke tiga jika dilihat dari business life cycle yang tergambar dalam kurva -S seperti dalam gambar.

Tahap pertama adalah tahap memproduksi gula dengan berbagai varian, mulai dari raw sugar, white sugar, refined sugar dan juga liquid sugar. Tahap kedua, yang sekarang sedang kita geluti adalah mengembangkan industri hilir berupa listrik, ethanol, pupuk dan pakan ternak.

Sekarang ini Thailand sudah memasuki tahap ketiga, yaitu mengembangkan bio plastik, bio kimia, yeast, aditif untuk makanan dan pakan, produk farmasi dan kosmetik.

Masih banyak lagi cerita menarik dari tetangga. Myanmar ternyata berperan ganda sebagai importir dan sekaligus eksportir gula. Kok bisa? Ya, ternyata banyak terjadi trading di sepanjang perbatasan Myanmar dengan China, baik legal maupun ilegal. Jumlahnyapun tidak sedikit. Hampir 1 juta ton per tahun.

Mauritius, negara pulau yang sangat kecil melakukan regrouping PG-nya (isu aktual di PG Jawa) dari 20 PG menjadi 4 PG, ternyata dalam waktu 20 tahun. Sekarang mereka menjadi eksportir yang handal ke Eropa.

Belum lagi Australia yang sudah menerapkan precision farming di segala bidang di sisi on farm-nya. Membosankan kalau diceritakan tapi akan menarik untuk dilihat kesana, asal jangan bertujuan wisata. Dont mix business with pleasure. Sedikit-sedikit boleh lah.

Ayo para gula mania RNI, kita kejar ketertinggalan kita. Semangat.

Semoga Allah SWT membimbing dan meridhoi upaya kita.

Wassalamualaikum wr.wb.

Jakarta,   14 Nopember 2016.

Didik Prasetyo

Tinggalkan komentar